Header Ads

Belajar Menjadi Manusia Dari Kasus Makanan “Babi Saus Kurma”



Di tengah suhu politik Indonesia yang semakin panas menjelang pemilihan presiden 2019, bebarapa bulan lalu ada kabar kurang mengenakkan yang harus saya terima. Dua komedian yang saya kagumi, Tretan Muslim dan Coki Pardede memutuskan “rehat” dari dunia hiburan. Sontak kabar tersebut membuat saya menyesalkan keputusan yang dibuat Muslim dan Coki.

Sebuah tayangan yang diunggah Muslim dalam akun youtube pribadinya (LastHopeKitchen) menuai pro kontra di tengah masyarakat. Daging babi yang dicampur dengan minuman sari kurma menjadi hidangan yang mereka bahas. Bahan masakan yang dibuat menu oleh dua kemodian Majelis Lucu Indonesia (MLI) tersebut menjadi justifikasi sebagian masyarakat (terutama umat muslim) untuk melakukan persekusi dan ujaran kebencian kepada mereka berdua.

Tentu hal ini tidak dapat dijadikan sebuah pembenaran atas konten yang dibahas Muslim-Coki. Terlebih jika kejadian tersebut memang sudah dialami oleh keduanya. Terlepas dari salah tidaknya konten yang dibahas,  sebagai masyarakat yang memiliki agama, tidak dibenarkan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap sesama.

Jika melihat pada perspektif Muslim-Coki,  konten yang telah dibuat untuk acara LastHopeKitchen ditujukan untuk hiburan semata. Selain itu, misi keduanya untuk lebih mengkampanyekan pluralisme di tengah masyarakat Indonesia saat ini mungkin menjadi landasan mengapa bahan makanan tersebut dijadikan konten video. Hal ini selaras dengan kondisi masyarakat kita dewasa ini yang terpecah menjadi kubu-kubu yang sewaktu-waktu jika terus dibiarkan akan mengancam eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Namun jika berkaca pada perspektif agama,  konten atau ucapan pada saat video mungkin saja Muslim-Coki salah. Karena memang tidak semua umat Islam memiliki pandangan yang sama, terlebih jika membahas syariat. Daging babi jelas “haram” dimakan atau bahkan dicium aromanya oleh seorang Muslim. Apalagi mereka berdua membawakan acara masak tersebut dengan humor dark comedy yang lantas memantik amarah sebagian umat Islam.

Tetapi sekali lagi,  tindakan persekusi, ujaran kebencian, atau bahkan pemboikotan acara-acara MLI yang berlangsung di berbagai kota jelas tidak bisa dibenarkan dengan argumen apapun. Sebagai masyarakat plural,  hal tersebut tak pantas untuk dilakukan. Terlebih mengatasnamakan agama untuk memburu darah Muslim-Coki yang “halal” untuk dibunuh. Sebuah tindakan yang menjijikkan jika benar dilakukan.

Jadi, sekali lagi,  terlepas dari salah tidaknya Muslim-Coki dalam membuat konten tersebut,  sudah seharusnya kita semua mawas diri agar menghargai karya orang lain. Jika tidak sepakat dengan karya tersebut,  masih banyak kritik lain yang dapat disampaikan. Seperti membuat konten tandingan yang misalnya membahas boleh tidaknya “makanan halal” dicampur dengan “makanan haram” Menurut hukum Islam. Sekali lagi,  misalnya.

Dengan begitu, kita akan terus menerus belajar menjadi seorang manusia yang tetap menggunakan akal sehat yang diberikan Tuhan. Karena semua agama di dunia tidak mengajarkan kekerasan yang menghalalkan darah saudara satu ciptaan-Nya. Akhir kata, sebagai seorang umat lucu,  saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Muslim dan Coki, yang telah menghibur hari-hari saya dengan guyonan yang bernas. Semoga tetap diberikan kesehatan dan kesuksesan dalam karier setelah kasus ini. Amin.













Tapi bohong. Hiya hiya hiya! 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.