Jodoh Sudah Diatur, Jalani Saja Jangan Difikirkan
Hujan rintik siang itu menemani Muhammad
Bimo Mahameru, mahasiswa tingkat akhir yang sedang gusar memikirkan masa
depannya. Bukan skripsi yang ada dalam pikirannya. Seorang perempuan bernama
Assafa Dewi Rinjani berjalan-jalan dalam renungannya.
Bukan hal remeh-temeh seperti
kebanyakan muda-mudi dimabuk asmara, ia termenung dalam bayang-bayang masa
depan yang sulit dengan Rinjani. Ketika ia menyadari kekurangannya (salah
satunya adalah malas dan kurang kreatif), ia menyerngit tanda menyerah mendapatkan
cinta Rinjani secara utuh. Hal memuakkan yang sering ia sesalkan.
Di tengah lamunannya, Android Bimo berbunyi. Ternyata pesan
singkat itu berasal dari Rinjani untuk mengajaknya bertemu. Sebenarnya dalam
hati Bimo sudah malas untuk bertemu dengan kekasihnya itu. Namun karena ia juga
rindu, akhirnya Bimo memutuskan untuk berangkat ke kos Rinjani.
Tak banyak yang mereka lakukan
ketika mereka bertemu. Rinjani, seorang perempuan berkerundung yang friendly selalu ingin dimanja
kekasihnya. Tampak dalam delapan Bulan hubungan mereka, Rinjani sangat
menyayangi Bimo apa adanya. Meskipun ia tahu Bimo adalah tipikal orang yang 180
derajat berbeda dengannya.
Rinjani adalah perempuan kota
yang melek teknologi. Seperti kebanyakan perempuan kota lainnya, ia suka
berjalan-jalan di Mal atau menonton film di bioskop. Makan di restoran atau
sekedar nongkrong di café.
Sedangkan Bimo adalah seorang
anak perantauan dari wilayah pelosok di Solo yang hidup di kota Jember.
Meskipun begitu, ia tak tertarik dengan kehidupan orang kota. Di dalam
keterasingannya, ia lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi bercengkrama
dengan orang-orang pinggiran kota. Pada dasarnya ia lebih suka tinggal di desa,
jalan-jalan di hutan dan rekreasi ke gunung.
Dengan perbedaan yang begitu
besar, Rinjani sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Dalam benaknya, ia
hanya ingin hidup dengan laki-laki yang ia cintai setelah lulus kuliah, Bimo
Mahameru. Banyak hal yang telah ia siapkan. Meskipun pada dasarnya ia sama
dengan Bimo (seorang pemalas), ia telah memberanikan diri untuk belajar memasak.
Tak jarang ia membawakan bekal Bimo saat kekasihnya itu selesai kuliah.
Sementara Bimo, sadar akan
kondisinya sebagai seorang laki-laki, merasa harus melakukan sesuatu yang lebih
daripada Rinjani. Ia memutuskan untuk bekerja di Café dekat rumahnya di sela-sela
kegiatan kampus dan organisasinya. Bimo sadar, ia telah mendapatkan hati
Rinjani, tapi belum restu kedua orang tua Rinjani bila ia serius menapaki
mahligai rumah tangga bersama kekasihnya itu.
Suatu hari, Bimo memberanikan
diri untuk berbicara langsung dengan Rinjani soal kegelisahannya itu. Ia merasa
“kalah kelas” dengan hidup yang dijalani Rinjani. Ia tak mau Rinjani berjalan
di aspal terjal hidup yang dijalaninya. Ia mengaku menyesal telah mengajak
Rinjani ke gunung, tapi egois tak mendampingi kekasihnya untuk nonton film
terbaru di bioskop. Ia merasa hidupnya tak akan cocok jika harus terpaksa
seperti itu.
Bimo cemburu. Bukan kepada cowok-cowok
yang menyukai Rinjani periang dan friendly. Bimo bukan-lah tipikal laki-laki
yang mudah tersulut emosi seperti itu. Ia cemburu karena story whatsapp atau instagram Rinjani ketika berjalan-jalan di Mal
ataupun makan di café. Ia merasa tak akan “mampu” menemani Rinjani. Bimo sadar,
ia egois atas hal itu, namun ia tetap merasa tidak akan pernah bisa melakukan
apa yang Rinjani lakukan bersama teman-temannya. Pada dasarnya, Bimo terlahir
dari keluarga pekerja keras dan sederhana, sedang keluarga Rinjani bergelimang
harta.
Namun dengan lugas Rinjani
menolak semua statement yang telah
dilontarkan Bimo. Ia sekali lagi menegaskan bahwa cintanya hanya untuk Bimo.
Apapun kondisinya ia tetap ingin hidup dengan Bimo. “Aku tak pernah mempermasalahkan
hal itu. Aku bahkan mau tidur di dinginnya Ranukumbolo, asal itu bersamamu”
Tegasnya.
Mendengar hal itu hati Bimo
luluh. Seketika ia memeluk Rinjani dan mencium kepalanya. Air matanya keluar
tanda ia juga mau memperjuangkan Rinjani. Tak ada alasan baginya untuk
mengucapkan perbedaan yang mereka alami. Bimo dan Rinjani sama-sama sepakat
untuk melanjutkan hubungan dan memantaskan diri. Meskipun tidak jarang, Bimo
masih saja memikirkan “perbedaan” itu.
Pada akhirnya mereka berdua lulus
kuliah. Rinjani kembali ke kotanya untuk meneruskan hobi memasaknya. Ia
memutuskan untuk mengambil kursus memasak. Sementara Bimo pergi bekerja untuk
sebuah perusahaan kelapa sawit di Kalimantan. Keduanya lantas berhubungan jarak
jauh. Semua berjalan normal.
Hubungan mereka yang terpisahkan
Laut Jawa harus dihadapi dengan komunikasi ala kadarnya. Di tempat Bimo
bekerja, sinyal adalah barang langka. Satu-satunya komunikasi yang
memungkinakan agar ia bisa menyapa Rinjani adalah dengan mengirimkan surat.
Sebulan sekali, Bimo rutin
mengirimkan surat kepada Rinjani. Ia bercerita segala hal yang ia alami saat
bekerja di Kalimantan. Rinjani yang tinggal di Surabaya juga melakukan hal yang
sama. Rutinitas itu mereka lakukan selama satu tahun.
Ketika Bimo dipindahkan
perusahaan ke wilayah yang lebih terisolir, praktis membuat hubungan mereka
renggang. Tidak jarang Rinjani memikirkan keadaan Bimo di perantauan. Ia
menunggu bimo dengan cemas, padahal orang tuanya sudah menyuruhnya agar cepat
menikah. Dua tahun lamanya menunggu dalam ketidakpastian membuat Rinjani
frustasi.
Di dalam perantauan, Bimo terus
bekerja keras. Tak jarang ia juga “nyambi” berjualan kopi dengan membuka
angkringan di tempatnya bekerja pada malam harinya. Tak ada yang ia fikirkan
selain mengumpulkan pundi-pundi uang dan mewujudkan impiannya membangun rumah
tangga bersama Rinjani. Sesekali-kali dalam fikirannya terbesit angan-angan
saat ia sedang bersanda gurau dengan anak-anak mereka. Sungguh bahagia.
Sedangkan dalam kebimbangan,
Orang Tua Rinjani terus mendesak anaknya untuk cepat menikah. Bahkan ayah
Rinjani telah mempersiapkan seorang laki-laki untuk anaknya. Rinjani tegas
menolak tawaran itu dan tetap menunggu laki-laki yang ia cintai.
Satu tahun telah berlalu, tak ada
kabar dari Bimo. Menunggu seseorang yang tak pasti membuat Rinjani benar-benar
frustasi. Ia tak kuat lagi dengan ketidakpastian itu. Pada akhirnya ia mengalah
dan menuruti permintaan ayahnya. Sedangkan Ibu Rinjani pasrah dengan ketetapan
yang telah dibuat keluarga. Ia mengerti hal itu pasti menyakitkan hati anak
perempuan yang dicintainya.
Di tengah persiapan resepsi yang tinggal
menunggu hari, handphone Rinjani
berbunyi. Nomer asing muncul dalam layar gadget-nya.
Setelah ia angkat, ternyata suara itu berasal dari laki-laki yang telah ia
tunggu tiga tahun lamanya. Seketika ia menangis begitu kencang. Ia tak kuasa
menahan air mata. Di tengah tangisannya, Bimo mengatakan, “Besok aku akan ke
Surabaya, tolong jemput aku ya”. Seketika Rinjani menutup telpon dan menangis
sejadi-jadinya.
Di dalam hatinya, Rinjani sudah
melupakan Bimo. Ia begitu kecewa dengannya. Yang terbesit dalam fikirannya
waktu itu Bimo sudah melupakannya dan berpaling kepada wanita lain. Bimo juga
tak pernah memberikan kabar kepadanya. Hal yang membuat dirinya berfikiran Bimo
sudah mengkhianati cintanya.
Hari bertemu pun tiba. Rinjani
tetap menjemput Bimo di Bandara. Perasaan Rinjani yang berkecambuk, membuatnya
terdiam selama di perjalanan. Sedang Bimo sangat senang berjumpa dengan kekasih
hatinya. Sepanjang perjalanan Bimo terus bercerita, meskipun tak pernah
ditanggapi oleh Rinjani.
Sesampainya di rumah, Rinjani
mengajak Bimo untuk masuk dan menyuruhnya menunggu di ruang tamu. Setelah itu,
ia langsung masuk ke kamar. Mendengar kedatangan Bimo, Ayah Rinjani langsung menumuinya
di ruang tamu. Sedang Ibu Rinjani masuk ke kamar anaknya.
Setelah banyak bercerita tentang
pengalaman hidupnya di Kalimantan, tiba saatnya Ayah Rinjani bercerita. Ia
mengatakan bahwa anaknya telah memilih laki-laki lain yang lebih mapan dan
siap. Sontak Bimo kaget dengan pernyataan Ayah Rinjani. Ia tak bisa berkata
apa-apa. Suasana berubah jadi hening untuk beberapa waktu.
Sedangkan di kamarnya, Rinjani
tak henti-hentinya menangis dalam pelukan ibunya. Ia tak lagi kuasa menahan
emosinya. Namun ia tak bisa menggagalkan pernihkahannya dengan Ashraf, Calon
Suaminya.
Di tengah keheningan, ingatan
Bimo kembali ke masa saat ia memikirkan masa depan hubungannya dengannya
Rinjani. Hal yang sering ia lamunkan akhirnya benar-benar terjadi. Hatinya
hancur. Hilang sudah rencana meminta restu meminang Rinjani hari itu. Ia
berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya seraya berpamitan kepada
Ayah Rinjani. “Mohon maaf Om bila saya memiliki salah kepada Rinjani
Sekeluarga. Salamkan ke Rinjani, semoga dia bahagia.” Ucapnya dengan mantap.
Bimo benar-benar jatuh kala itu.
Hatinya dipenuhi rasa sesal. Ia telah mati rasa dengan sosok bernama wanita.
Hancur. Kata yang bisa menggambarkan hidup Bimo kala itu.
Seiring berjalannya waktu, Bimo
sudah bisa melupakan Rinjani. Bayang-bayang wanita yang pernah dicintainya
benar-benar hilang. Meskipun telah sering diingatkan keluarganya untuk segera
menikah, namun bimo santai saja menanggapinya. Ia hanya fokus untuk membangun
karir dan usahanya di perantauan. Dengan sesekali naik gunung, kebiasaan
favoritnya.
Kehidupan Bimo kembali lagi “hidup”.
Bisnis angkringan yang ia rintis berkembang dengan pesat. Selain itu ia disibukkan
dengan berbagai kegiatan sosial seperti membangun Panti Anak dan Jompo.
Hidupnya serasa bahagia, meskipun tak ada sosok wanita di sisinya.
Di tengah kesibukannya, rasa
capek menghinggapi tubuhnya yang kurus. Lantas Bimo memutuskan untuk pergi ke Om
Zein, tukang pijat di daerah dekat angkringannya. Di tengah terapi, ia tertidur
lelap. Dalam tidurnya, ia kembali teringat Rinjani. Tak disangkal, ia juga
ingin kembali lagi bersanding dengan Rinjani. Mimpinya kabur ketika pijatan
keras menusuk punggungnya. Ia terjaga. Bimo kaget bukan kepalang melihat
Rinjani berada di depannya. Ia tak menyangka bertemu lagi dengan wanita yang
pernah dicintainya.
“Loh mak nang kene awakmu?” Ucap
Bimo terheran-heran. Dengan cekatan Rinjani menjawab, “Nang kene yaopo seh
yang? Mabuk a kon?”. Merasa ada yang salah, Bimo menceritakan apa yang telah ia
dan Rinjani alami. Rinjani tak kuasa menahan tawa. Rupanya Bimo yang tertidur
lebih dari dua jam telah menganggap dirinya telah menikah dengan orang lain.
"Wahahahaha ra Mashooookkk!!!" Tawa Rinjani terbahak-bahak sambil mengelus rambut Bimo yang masih linglung selepas tertidur pulas di teras kosnya. "westalah yang, jodoh onok seng ngatur, dijalani ae, gausa dipikir." Lanjutnya lantas memeluk Bimo erat-erat.
"Wahahahaha ra Mashooookkk!!!" Tawa Rinjani terbahak-bahak sambil mengelus rambut Bimo yang masih linglung selepas tertidur pulas di teras kosnya. "westalah yang, jodoh onok seng ngatur, dijalani ae, gausa dipikir." Lanjutnya lantas memeluk Bimo erat-erat.
Tidak ada komentar: