Header Ads

Andai Kita Semua Sekeren Joko Cahyono


Saya masih ingat. Waktu itu daku masihlah semester dua. Sebagai seorang dedek-dedek maba yang imut, mata saya melirik kesana-kemari. Bukan melirik pantat kakak-kakak yang sekseh loh ya. Melirik yang saya maksudkan adalah menerka dan mencerna organisasi mahasiswa (Ormawa) mana yang akan saya pilih. Karena sadar akan kemampuan, saya tidak akan survive hidup di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) dengan mengandalkan IPK (Indeks Prestasi Komulatif) semata. Wong disuruh menjelaskan apa itu FTP saya seakan hilang ingatan.

Untuk itu saya mengambil jalan tikus dengan terjun saja ke organisasi mahasiswa, hitung-hitung mencari kesibukan. Pilihan pertama saya sebenarnya jatuh ke UKM-O Sahara, sebuah ormawa di FTP berbasis olahraga. Dengan berbekal pernah memimpin organisasi serupa semasa SMA, sedikit demi sedikit saya mulai nimburung di UKM itu. Satu per satu pengurus Sahara saat itu mulai saya bribriki.

Relasi kemudian mekar mewangi diantara saya dan mereka. Setelah rutinitas kuliah, saya sering mampir ke sekret Sahara untuk sekedar ngobrol dan maen PES. Jalinan komunikasi yang intens semakin menambah minat saya untuk masuk ke organisasi itu. Ditambah dengan seringnya saya mengikuti latihan Futsal yang rutin diadakan oleh Sahara.

Hari berganti hari. Tak terasa sudah banyak kakak tingkat yang saya kenal. Secara tidak langsung, saya juga mengambil pelajaran yang dipetik dari pengalaman mereka. Namun saat itu saya belum secara pasti menentukan ormawa yang akan saya pilih. Hati sudah mantap untuk memilih Sahara, sampai bribikan Joko Cahyono berhasil menggoyahkan haqqul yakin saya.

Lantas yang jadi pertanyaan khalayak sekarang, siapa Joko Cahyono itu ? Apa ia sehebat Great Alexander ? sejenius Albert Einstein ? atau bahkan se-revolusioner seorang Soekarno ? Bersama Feni Rose, mari kita kupas tuntas kisah dan kasus Joko Cahyono yang membuat saya terpesona. Mengangkat hal-hal tabu menjadi layak diperbincangkan. Semua akan dikupas secara tajam, setajam silet !

Joko Cahyono adalah seorang mahasiswa akhir cum aktipis kawakan di FTP Universitas Jember. Pengalamannya tak perlu dipertanyakan lagi. Pemimpin Umum LPM Manifest (Organisasi mahasiswa yang bergerak di bidang jurnalistik FTP), Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Jember, sampai menjadi Pemimpin Redaksi dadakan “Majalah Alkalis” LPM Manifest pernah ia enyam. Mendengar namanya saja, banyak dedek-dedek emesh maba sampai tante girang kepincut dengan daya magisnya.

Kegemarannya mendobrak kemapanan dari empunya kuasa di tataran kampus, membuat saya sebenarnya mengusulkan namanya untuk dijadikan Man Of the Years 2016 versi majalah Times. Dengan menggunakan “senjata” media, tak jarang bapak-ibu yang duduk manis di dekanat dibuatnya kalang kabut bukan kepalang. Bahkan, bolak-balik dipanggil ke dekanat perkara berita sudah menjadi makanan paginya.

Dengan seabrek pengalaman dan kenekatan yang ia miliki, membuat banyak orang terinspirasi olehnya. Salah satunya saya. Lah kok iso pek ? peh !

Nah, mari refresh sejenak dengan kembali ke masa dimana saya masih semester dua. Sore itu, saya lupa waktu dan harinya, tidak sengaja setelah pulang kuliah saya diajak ngopi di Warung Buleck oleh Alief Evien, kakak angkatan saya plus kiper futsal FTP. Tak banyak yang kita bicarakan waktu itu. Obrolan hanya sebatas tentang futsal serta pengalamannya semasa masih menjadi kiper utama Timnas IPB (Institut Pertanian Bogor).

Di kejauhan meja, nampak Joko sedang mengobrol serius dengan seseorang. Di jauh-jauh hari kemudian, saya baru mengetahui orang yang diajak ngobrol oleh Joko adalah Faiz. Ia adalah Koordinator Biro Penelitian dan Pengembangan PPMI Kota Jember dari LPM Aktualita Universitas Muhammadiyah Jember semasa Joko menjabat. Lantas, Alief yang telah mengenal Joko mengajak saya untuk ikut nimbrung ke meja mereka.

Obrolan dikala senja itu berlanjut seru. Deru air hujan yang membawa sejuta kenangan memper-elok obrolan serius kami mengenai isu kampus. Sebagai mahasiswa baru yang tak tahu-menahu tentang isu kampus saya diam dan angguk-angguk saja. Saya pun terbawa obrolan antara Alief dan Joko yang kian memanas ngerasani bapak-ibu dosen.

Aura yang begitu kuat terpancar tatkala Joko menjelaskan argumennya tentang tindakan semena-mena yang dilakukan birokrat kampus. Sebagai seorang aktipis, ia berujar pernah beradu argumen dengan para dosen terkait kebijakan kampus yang tidak pro dengan mahasiswa. Dalam relung hati yang paling dalam, saya mengatakan, “Begitu keren-nya kakak ini, hhm”.

Matahari pun kembali ke peraduannya. Kami berempat pulang ke kamar masing-masing. Bukannya pulang membawa bekal pengetahuan, saya malah terjerembab pada lorong hitam yang ditawarkan Joko. Masuk ke dunia pers mahasiswa dan memperjuangkan hak yang telah dirampas penguasa. Sejenak hati bimbang, namun ada hal yang patut saya pertimbangkan waktu itu. Mungkin mencari pengalaman lain (selain bidang olahraga) bisa jadi rujukan untuk mengembangkan karir organisasi saya.

Setelah hari itu, saya kemudian lebih intens berkomunikasi dengan Joko. Sekret Sahara mulai saya tinggalkan. Tempat mengobrol lebih saya habiskan di Warung Buleck, warung rakjat dibelakang gumuk FTP. Layaknya kakak-kakak aktipis organisasi ektra kampus mengkader dedek maba, Joko juga banyak memberikan pemahaman arti penting mahasiswa di dalam pergerakan. Saya pun terperanga melihat semua argumentasi saya tentang isu kampus terbantahkan dengan tepisan argumennya yang masuk nalar. Sungguh sebwa kengerian.

Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan untuk masuk dalam dunia mahasiswa. Memang tidak bisa dipungkiri, keputusan saya ini buah karya dari kekerenan yang Joko berikan kepada saya. Ia memang sosok yang ulet dan tidak mau mengalah dengan keadaan. Bila memang cita-citanya menjadi seorang Bupati Banyuwangi terpenuhi, negeri asalnya itu patut berbangga diri. Dipimpin oleh sosok multi talenta dan tidak gampang menyerah seperti Joko Cahyono.

Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengupas tuntas hal apa saja yang saya dan Joko lakukan semasa ia aktif di Manifest. Namun ada hal penting yang patut saya bagikan kepada khalayak sekalian. Ketika itu, saat ia masih menjadi Pemimpin Umum LPM Manifest selama 5 bulan, namanya masuk dalam kontestasi Sekretaris Jenderal PPMI Kota Jember. Dalam rapat internal disepakati Manifest tidak akan mencalonkan nama. Namun saat musyawarah besar itu, namanya terus menerus muncul.

Dengan beban moral kepada PPMI, akhirnya ia memutuskan untuk menerima pinangan tersebut. Sontak air mata mengucur deras dari mata saya. Bila difikir secara logika, saya tidak mengetahui kenapa air mata saya tumpah untuknya. Belakangan saya baru sadar, air mata itu merupakan pertanda apresiasi saya terhadap apa yang ia lakukan dan contohkan kepada saya. Bahwa menyelesaikan tanggung jawab dengan baik itu mahal harganya.

Namun setelah ia menjabat, belakangan ia malah curhat ngenes di media blognya. Nampaknya Joko yang Agung merindukan masa-masanya lagi semasa aktif di tatanan redaksi. Bukannya menyelesaikan skripsi dan mencari pendamping hidup seperti diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 Ibunya, ia malah merindukan redaksi ! Namun saya memafhumi apa yang ia utarakan. Perjoeangan Rakjat yang ia tetapkan memang belum sepenuhnya ia tuntaskan.

Memang tulis-menulis dalam dunia pers mahasiswa menjadi harga mati, seperti Nahdhatul Ulama (NU) mati-matian memperjuangkan keutuhan NKRI. Bila pers mahasiswa luput dengan tanggung jawab itu, ia tidak bisa dikatakan sebagai pegiat pers mahasiswa. Tampaknya hal tersebutlah yang menjadi cita-cita Joko Cahyono. Tetap menggiatkan kegiatan menulis dalam tonggak perjuangannya sebagai insane pers mahasiswa.


Dengan seabrek pengalaman yang ia miliki, ia memang pantas menjadi calon suksesor Bupati Anas di Banyuwangi. Di akhir tulisan yang super nggateli ini saya berpesan kepada khalayak sekalian. Andai kita sekeren Joko Cahyono, tidak aka ada kesewenang-wenangan di tataran kampus. Andai kita semua sekeren Joko Cahyono, marwah mahasiswa untuk membela rakjat pastilah menjadi nyata. Dan andai kita semua sekeren Joko Cahyono, kita pasti gampang bergonta-ganti pasangan !

2 komentar:

  1. andai mas Joko nabi, maka mas bimo sayap kanan. tapi karena mas Joko cuma manusia. Jangan terlalu kiri, mas bimo (y)
    Tapi ulasannya mantap

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.