Menyuarakan Yang Tak Bisa Bersuara
Di dalam melanjutkan perjuangan,
regenerasi sangat diperlukan. Hal itu juga yang terjadi dalam kehidupan
organisasi, terlebih pers mahasiswa (persma). Marwah perjuangan sangat kental
dalam organisasi ini. Tak hanya sebagai sarana pengembangan minat jurnalistik
para mahasiswa. Persma juga dipakai oleh
para aktivis di dalamnya untuk membela kaum-kaum yang ditindas.
“Kaum-kaum yang ditindas” merupakan
frasa dari sebuah keadaan masyarakat yang diperlakukan tidak adil oleh penguasa
(pemerintah serta seluruh orang yang mempunyai kuasa). Sebuah ironi bagi
jiwa-jiwa yang masih meyakini tentang kebenaran dan kewarasan. Widji Thukul pun
berikrar, “hanya ada satu kata, lawan!”.
Perjuangan harus eksis. Karena apabila
hal tersebut hilang, maka jangan harap ada perubahan di dalam sebuah
pergerakan. Wajib bagi seseorang yang mendaku dirinya hidup untuk berjuang.
Karena ia hidup dunia pun berjuang mengalahkan miliaran sperma yang juga
berebut untuk hidup. Untuk itu, regenarasi harga mati !
PJTD,
Gerbang Menuju Pencerahan
Bagi mahasiswa baru, masuknya mereka
ke dalam lingkungan kampus bisa menjadi kehidupan yang mengasyikkan. Dengan
jadi mahasiswa, bisa dikatakan mereka menjadi pribadi-pribadi merdeka. Keterikatan
dengan peraturan guru yang telah mereka alami sewaktu masa sekolah,
perlahan-lahan dapat diatur sendiri. Semisal berambut gondrong bukan hal yang
dilarang saat menjalani masa kuliah. Selain itu, lahan “kekritisan” tumbuh
mekar bersemi dalam dunia mahasiswa.
Tak terkecuali ketika seorang
mahasiswa berniatan untuk berproses dalam dunia persma. Organisasi yang dikenal
sebagai sayap oposisi dalam tatanan birokrasi kampus menjadi daya tawar kepada
mahasiswa yang memiliki sifat kritis. Tak hanya itu, seorang mahasiswa yang
menggeluti dunia persma juga dapat meng-explore
berbagai bidang di dalamnya. Diantaranya yakni kepenulisan, fotografi, desain
grafis, serta hal lain yang berkenaan dengan keredaksian dan keorganisasian.
Bagi Lembaga Pers Mahasiswa, Pelatihan
Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) layaknya ajang peng-eksis-an diri untuk terus
hidup. Melalui kegiatan tersebut, mahasiswa baru masuk dalam dunia
ke-persma-an. Dasar-dasar jurnalistik diajarkan dengan seksama untuk memberi pemahaman
tentang kerja organisasi dan redaksi yang menjadi proses selama menggeluti
dalam dunia persma. Selain itu, ajang ini juga dapat menjadi titik balik
penyadaran akan pentingnya kritik dalam pengawalan sebuah perubahan.
PJTD juga bisa dimaknai ajang
pencerahan. Bila mahasiswa diluar persma menganggap kehidupan mereka di kampus
biasa-biasa saja tanpa ada masalah, hal itu adalah kekeliruan besar. Memang
salah satu pelajaran tersirat yang didapat ketika mengikuti PJTD adalah
kepekaan (Analisis Sosial). Awak persma harus aktif menganalisis setiap permasalahan
yang terjadi di dalam lingkungan yang ditempatinya. Bila ia sudah menguasai hal tersebut, niscaya
tidak ada kata “biasa saja” dalam hidup kuliahnya.
Jum’at, 19 Mei 2017 LPM Manifest FTP
UJ, tempat saya berlindung dan bernaung dari rintik hujan mengadakan PJTD untuk
mahasiswa angkatan 2015 dan 2016. Bertemakan “Menyuarakan Yang Tak Bisa
Bersuara”, fokus acara ini memang untuk membentuk jiwa-jiwa kritis dalam tubuh
mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat FTP. Kegiatan ini bertempat di Kelurahan
Kebon Agung, Jember. Acara tersebut berlangsung hingga Minggu, 21 Mei 2017.
Kegiatan ini pada dasarnya sama
seperti PJTD pada umumnya, wahana pengenalan untuk masuk dalam dunia persma
bagi anggota baru. Namun di tulisan ini saya tidak terlalu membahas tentang
detail acaranya. Biar mereka yang telah mengikuti acara tersebut yang
menuliskannya sebagai bekal masuk dalam dunia persma. Karena bagi awak persma, “Menulis
Tjang Oetama”.
Saya masih ingat, 2 tahun lalu saya
memutuskan mengikuti PJTD di Desa Banjar Sengon, Jember. Tanpa pengetahuan
apapun mengenai jurnalistik, saya nekat ikut acara itu. Waktu itu, PJTD
dilaksanakan di Desa Banjarsengon, Jember. Hingga kini menjadi pengurus di
dalam organisasinya “Cak Man”, saya tetap ingin mengikuti kegiatan tersebut
sekali lagi menjadi peserta.
Kala itu, dengan semangat yang masih membara,
berbagai macam materi mulai dari wacana persma, management redaksi, kepenulisan berita, perwajahan media, hingga
teknik reportase dan wawancara telah saya lahap. Kemudian output yang nanti dihasilkan dari materi-materi tersebut adalah
membuat sebuah media berupa bulletin. Media ini bertemakan tentang isu
(permasalahan) maupun potensi yang ada di daerah sekitar tempat PJTD.
Setelah 2 tahun menggeluti dunia
persma ini, saya lebih sadar akan pentingnya persma dalam lingkup kampus. Bila
tidak ada persma dalam suatu kampus, bisa dikatakan nilai demokrasi mengenai
kebebasan berpendapat dan bersuara sedikit terabaikan. Karena ketika dalam
suatu kampus ada pergerakan lewat organisasi ekstra kampus melalui aksi, maka
persma mengambil posisi melalui terbitan medianya. Untuk itu, “Kampus tanpa
persma adalah sebuah kebiadaban”.
Persma
sebagai Wahana Perjuangan
Mempunyai pemahaman awal tentang tugas
pokok dan fungsi sebagai persma memang hal yang sangat berat. Selain sebagai
penyambung kabar dari sebuah peristiwa, awak persma juga dituntut kritis dalam
setiap kebijakan. Baik dalam tataran civitas akademika kampus maupun masyarakat
pada umumnya. Peran ganda tersebut haruslah dipahami terlebih dahulu oleh awak
persma. Karena posisi dari persma sudah jelas, yakni sebagai wahana advokasi
untuk mencapai perubahan yang lebih baik.
Dengan posisi persma yang sudah jelas,
awak yang ada didalamnya harus benar-benar serius mengemban tugas muia
tersebut. Tugas seorang wartawaan seperti persma tidak hanya sebagai pewarta,
namun juga sebagai motor penggerak perjuangan. Dengan amunisi berupa media,
persma layaknya sebagai komandan di dalam medan pertempuran.
Bila dirunut kembali ke belakang,
persma hadir atas segala kegelisahan para mahasiswa atas permasalahan yang
menjerat kehidupan kampus mereka. Bukan hanya terkait kegiatan akademik, lebih
dari itu persma juga hadir dalam urusan soal birokrasi kampus yang pelik. Bila
aktivis mahasiswa melakukannya dengan aksi turun jalan dan bakar ban bekas,
maka persma unjuk gigi lewat media dengan analisisnya yang tajam dan kritis.
Terbukti melalui medianya, persma
dapat menggiring opini publik dalam suatu permasalahan yang terjadi. Penggerakan
opini ini menyebabkan efek domino yang besar dalam penyelesaian masalah. Karena
sejatinya, pengadvokasian melalui media dirasa lebih efektif daripada aksi
massa. Selain dapat menyalurkan gagasan, menjadi bagian dari persma menyurakan
yang tak bisa bersuara.
Memang, persma dalam fungsinya sebagai
salah satu tombak perjuangan mahasiswa menjadi wadah untuk menyuarakan suara
sumbing yang berseliweran. Persma memposisikan dirinya sebagai jembatan antara
si empunya dengan si objek kebijakan. Oleh karena itu, Independensi (bebas dari
segala intervensi) menjadi satu harga mati. Bila pihak penguasa sudah masuk
dalam ranah suci redaksi, maka “wassalam”
ihwal perlawanan dan perjuangan yang telah ditetapkan.
Namun yang jelas, bukan berarti persma menjadi pembangkang dan anti
kebijakan dari kampus, Hal yang perlu dipahami adalah persma hadir karena
memang harus ada perubahan di dalam sebuah permasalahan. Bila kebijakan dari
para birokrat kampus menguntungkan bagi semua pihak, niscaya persma juga akan
mendukungnya. Karena memang, pers mahasiswa mempunyai cara sendiri untuk
mencintai kampusnya.

Tidak ada komentar: