Header Ads

Andai Portal dan Gembok Itu Selalu Terbuka


Bagi sebagian mahasiswa khususnya para aktivis kampus, penerapan jam malam merupakan gembok kehidupan yang sangat membelunggu. Bagaimana tidak, dengan segala problematika yang menghinggapi dunia akademik mereka, penerapan jam malam akan “sedikit” mengurangi karya serta pemikiran liar para aktivis kampus. Tugas dan praktikum yang harus mereka kerjakan demi titel sarjana di undangan nikahan, membuat jam untuk berdiskusi maupun berorganisasi menjadi berkurang.

Ini bukanlah pledoi semata. Di kampus tempat saya bernaung dan berlindung dari rintik hujan, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) hal ini benar-benar terjadi. Bahkan Pembantu dekan (PD) III sebagai “bapaknya” kakak-kakak aktivis di kampus saya mengakui minat berorganisasi mahasiswa turun selama dua tahun terakhir ketika saya wawancarai. Semenjak jam malam mulai diterapkan, setidaknya menurut bapak PD III, hal itu tercermin dari minat mahasiswa untuk membangun pemerintahan mahasiswa (Badan Eksekutif Mahasiswa/BEM) sangat minim selama dua periode.

Peraturan dari Rektor yang terburu disantap mentah-mentah oleh pihak birokrat kampus (dekanat) atau bahkan kakak-kakak aktivis kampus saat ini malah membuat keaktifan serta kreatifitas mahasiswa menurun. Tak ada lagi tempat atau wahana bagi para mahasiswa yang aktif dalam organisasi mengembangkan minatnya. Karena memang, padatnya jadwal kuliah mengharuskan mahasiswa harus memilih antara organisasi atau fokus di akademik.

Saya sebenarnya sependapat dengan Bapak PD I (Akademik) saya di kampus. Ketika saya mewawancarinya. Ia menyatakan bahwa masalah kuliah sebenarnya tidak bisa dijadikan kambing hitam atas permasalahan waktu berorganisasi mahasiswa. Ia juga malah memberikan hitung-hitungan matematis terkait permasalahan ini. Semisal contoh, mahasiswa menempuh 4 sks setiap harinya. 1 sks dijabarkan dengan 50 menit tatap muka, 60 menit tugas terstruktur, dan 60 menit belajar mandiri atau bila dijumlah sebesar 170 menit. Berarti setiap harinya mahasiswa menghabiskan waktu sekitar 11 jam. Masih tersisa 13 jam untuk beraktifitas di luar kegiatan akademik, termasuk jam berorganisasi.

Namun kadang teori tidak sinkron dengan kenyataan. Faktanya tugas-tugas yang diberikan dosen-dosen yang baik hati dan tidak sombong malah melebihi sks yang diberikan. Itu hanya satu mata kuliah. Bila dikomparasikan dengan matakuliah lainnya, hal itu akan membuat otak mahasiswa terkuras hanya untuk urusan nilai akademik. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya menjadi mahasiswa seperti saya dengan tuntutan IP tinggi oleh calon mertua. Hiks.

Sebagai mahasiswa yang haqqul yakin salah jurusan sejak semester dua, membuat saya harus memeras otak agar ada yang saya bawa ketika lulus. Tidak hanya berbekal ijazah dan titel sarjana yang melekat di belakang nama. Salah satunya menggeluti organisasi mahasiswa. Dengan cara itu, saya tidak akan mati kutu ketika dihadapkan dengan permasalahan sosial di tengah masyarakat yang begitu pelik.

Dari kabar burung yang saya dapatkan, penerapan jam malam ini muncul diakibatkan beberapa faktor. Beralihnya fungsi sekretariat, adanya kasus seksual, serta masifnya kehilangan barang di lingkungan sekretariat kampus menjadi faktor diterapkannya jam malam ini.

Untuk faktor yang pertama, mungkin sedikit bisa diterima. Peran dari segelintir kakak aktivis kampus yang menjadikan sekret sebagai pelabuhan hati kosan atau bahkan rumah pribadi membuat fungsi dari sekretariat bergesar. Sepantasnya sekret dijadikan kantor oleh para fungsionaris untuk menjalankan roda organisasi. Bukan dijadikan tempat menitipkan barang-barang pribadi.

Namun anggapan itu buru-buru dimentahkan oleh beberapa kawan organisasi saya. Mereka malah menganggap itu hanya alasan bagi para bapak-ibu dosen agar mahasiswa lebih fokus dalam menuntut ilmu kuliah. Fakta di lapangan mengungkapkan kebanyakan dari fungsionaris organisasi mahasiswa (Ormawa) ini menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas kuliah, tugas-tugas organisasi, serta diskusi yang mengembangkan wacana seputar bidang keilmuan yang mereka geluti. Hematnya, mereka menganggap lingkungan sekretariat menjadi wahana meng-upgrade soft skill mahasiswa, di tengah hiruk pikuk tugas kuliah yang tak kunjung sepi. Pembatasan waktu untuk berkumpul dan bersosialisasi hanya akan jadi obat yang kurang pas bagi mahasiswa yang haus akan pengetahuan lebih. Mengingat ilmu tidak hanya di dapatkan di bangku kelas saja.

Untuk Alasan yang kedua sebenarnya menggelitik bagi saya. Menurut bapak-bapak dekanat, ada indikasi bahwa lingkungan sekretariat dijadikan tempat tidak senonoh oleh segelintir mahasiswa. Hal itu sempat diungkapkan oleh salah seorang birokrat kampus kepada saya. Bahkan ia melihat secara langsung kejadian yang tidak pantas dilakukan mahasiswa di lingkungan kampus. Saya lantas memafhumi pernyataan itu.

Namun ketika ditanyai apakah ada bukti nyata berupa foto atau rekaman, bapak tersebut tidak bisa menjawab. Hal tersebut malah menjadi tanda tanya besar. Dalam fikiran kritis saya, bagaimana mungkin seorang akademisi sekelas mahasiswa melakukan hal-hal tidak terpuji seperti itu. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dari orang awam, sedikit kemungkinan mahasiswa melakukan hal tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi. Bila memang kejadian tersebut benar-benar terjadi, sudah sepatutnya pihak tidak bertanggung jawab itu diadili sesuai hukum yang berlaku di tataran kampus. Itu malah lebih elok dipandang mata daripada menggunakannya sebagia pledoi ditutupnya portal kampus.

Alasan yang ketiga juga sebenarnya masih mengganjal hati saya yang paling dalam. Bila memang benar-benar riuhnya aktivitas mahasiswa di waktu malam, membuat oknum-oknum tidak bertanggung jawab dapat memanfaatkan kondisi ini untuk melakukan tindak pencurian. Sudah seharusnya kita sebagai mahasiswa yang memiliki sifat skeptis mempertanyakan fungsi dan tugas penjaga malam.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak-bapak penjaga kampus yang saya cintai, saya lebih sering melihat mereka duduk di lobby dekanat. Mereka tampak lebih nyaman di dekanat, tanpa seringnya berkeliling menyusuri gelapnya setiap lorong di fakultas. Itu pengamatan saya selama ini.

Seyogyanya memang keamanan merupakan tanggung jawab yang harus diemban bersama. Penjaga malam dan mahasiswa harus sama-sama bergotong royong agar keamanan di kampus memang benar-benar aman. Di dalam aktualnya, kehilangan barang atau lebih tepatnya motor itu kebanyakan terjadi pada siang hari, masifnya sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak ada sangkut pautnya dengan aktivitas mahasiswa di malam hari.

Dari cerita kakak-kakak aktivis seberang fakultas, obrolan tentang jam malam masih menjadi topik pembahasan yang tak lekang oleh waktu. Mereka mengungkapkan kebijakan jam malam tersebut berasal dari pihak universitas. Entah  fikiran apa yang sedang menghinggapi bapak-ibu saya di rektorat sana menerapkan peraturan ini. Mungkin mereka takut anak-anaknya terjerumus hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga marwah mahasiswa sebagai penerus bangsa tetap dalam koridor positif.

Menurut penuturan mereka, sebenarnya pihak fakultas memiliki kebijakan sendiri terkait peraturan yang ditetapkan rektorat. Atau dalam bahasa kerennya, fakultas memiliki kebijakan otonom. Semisal contoh deretan fakultas Sosekhum (sosial, ekonomi, hukum) sama-sama sepakat untuk menolak jam malam. Alasan yang paling kentara yakni dengan diterapkannya jam malam, mahasiswa tidak mempunyai wadah untuk mengembangkan diri dalam berorganisasi.

Saya membayangkan dalam benak, bila memang suatu saat portal serta gembok itu terbuka di fakultas saya, alangkah bahagianya saya. Kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 dapat saya rasakan seutuhnya. Pelajaran tentang berorganisasi, kemampuan berbicara, serta soft skill lainnya yang ada di dalamnya bakal saya rengkuh dengan maksimal. Mengingat waktu luang dalam wadah organisasi semakin terbuka.Namun apalah daya, semua hal itu telah terjadi. Percuma menyesali penerapan jam malam terlalu dalam. Semua tampak biasa-biasa saja. Para mahasiswa dan birokrat kampus sudah nyaman dengan keadaan ini. Bila saya buka kembali suara sumbang ini, pastilah hanya akan menjadi angin lalu. Kesadaran kolektif sangat perlu digenggam bila memang hal ini dapat membuahkan hasil yang positif, bagi seluruh civitas akademika.

Akhirul kalam, saya ucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya kepada bapak penjaga malam yang tidak izin terlebih dahulu untuk menginap di sekret. Ucapan terima kasih saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa. Karena berkat hidayah-Nya, saya akhirnya dapat merasakan atmosfer dinginnya malam lingkungan sekretariat. Tak lupa ucapan terima kasih kepada Bapak Dekan FTP yang telah mengijinkan UKM-K Dolanan menginap di kampus dalam rangka acara Romantika FTP, sehingga kami Keluarga Besar Cak Man juga ikut bermalam di sekret. Semoga acara yang telah disusun bersama sukses terlaksana. Salam Mahasiswa ! FTP Jaya !

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.