Raung Sejati
“Kita tak pernah menanamkan apa-apa. Kita tak pernah kehilangan apa-apa.” Ujar Soe Hok Gie, sekitar satu bulan sebelum ia meninggal di puncak Mahameru pada 16 Desember 1969. Kata-kata dari Soe kemudian lantas membuat saya meresapinya secara perlahan. Apa Maksud gerangan berbicara seperti itu. Masih menjadi tanda tanya di dalam hati.
Tidak salah bila saya kagum dengan sosok Soe. Pada masa mahasiswa, Soe terkenal sebagai pribadi yang idealis dan humanis lewat karya-karyanya. Ia giat menulis di pelbagai media cetak untuk mengkritisi kebijakan kampus maupun pemerintahan. Selain itu, ia juga aktif dalam organisasi pecinta alam Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karena memang kegemarannya dalam mendaki gunung.
Sama halnya dengan Soe, segala hal tentang gunung telah membuat fikiran saya merasa candu. baik orang-orangnya, suasananya, maupun pemandangannya. Namun saya bukanlah Soe yang terkenal dengan karya-karyanya. Karena memang seorang Soe terlahir dari keluarga penulis. Sedangkan tulis menulis bukanlah bidang saya. Rasa tanggung jawablah yang mengharuskan saya masuk dalam dunia jurnalistik ini.
Impian saya untuk bertemu Soe di puncak Mahameru kembali pupus tatkala seorang senior saya di kampung malah mengajak saya ke Gunung Raung. Gunung yang membelah empat Kota itu (Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo) merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Timur setelah Semeru, sekaligus menjadi gunung dengan pendakian terekstrim se-Jawa.
Tanpa banyak fikir, akhirnya saya menerima ajakan itu. Maklum, rutinitas di Kota membuat fikiran saya kembali pegal. Rutinitas kuliah sebagai mahasiswa, mengabdi kepada orang tua di rumah, bekerja di angkringan, dan tugas di organisasi. Belum lagi akhir-akhir ini saya dipercaya oleh kawan-kawan satu angkatan menjadi ketua dalam kepanitiaan Praktek Kunjungan Lapang. Dengan pressure yang begitu tinggi, refresh ke Raung memang perlu dilakukan.
Sebelum perjalanan ke Raung, pertemuan dengan kawan-kawan pendaki diselenggarakan. Saat itu selepas pulang kerja dari angkringan, saya segera ke Alun-Alun Kota Jember untuk berkumpul. Persiapan pun dilakukan. Mulai dari me-list alat pribadi maupun kelompok, estimasi biaya, hingga waktu pendakian.
Perjalanan dimulai. Jum’at, 9 September 2016 tepat pukul 20.30 kami berlima belas berangkat secara bersama-sama dari Jember menuju Kalibaru, Banyuwangi. Sedikit Info, Jalur resmi pendakian menuju puncak Raung terbagi menjadi dua, via Kalibaru Banyuwangi serta via Bondowoso. Untuk jalan via Kalibaru, dari Stasiun Kalibaru sekitar 50 meter belok kiri menuju ke perkebunan rakyat. Dari perkebunan tersebut, sekitar 30 menit sampai di pos pendaftaran Bu Soeto di Desa Wonokromo.
Setelah hampir 30 menit mengendarai motor, saya beserta rombongan akhirnya sampai di Pos 1 rumah Pak Soenarya, sekitar pukul 23.00. Mengingat kondisi fisik kami yang tidak memungkinkan untuk langsung tracking, akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di rumah Pak Soenarya.
Tepat pukul setengah tujuh pagi hari Sabtu, 10 September 2016 kami berlima belas berangkat dari kediaman Pak Soenaryo menuju track Gunung Raung Puncak Sejati. Perjalanan menuju Puncak Sejati melalui 4 pos dan 7 camping ground. Kontur jalan bertekstur batu dan pasir dengan track terjauh dari pos 1 ke pos 2 dengan menempuh waktu dua jam.
Setelah berjalan menempuh waktu selama 10 jam, kami akhirnya tiba di camping ground 6. Kurang lebih 1 jam menuju pos 7, tempat favorit pendaki untuk berkemah. Kami terpaksa memilih pos 6 karena keadaan sudah mulai gelap. Apalagi, banyak dari kami yang mulai menurun staminanya. Hal ini terjadi karena memang saat perjalanan dari Jember menuju Kalibaru, banyak dari kami yang baru saja pulang bekerja. Waktu istirahat di pos 1 Pak Soenarya juga belum secara maksimal memulihkan kondisi tubuh yang kelelahan saat perjalanan.
Menurut pengalaman dari senior kampung saya yang telah ke Raung Sebelumnya, perjalanan tracking menuju puncak Sejati dilakukan pukul dua pagi. Sehingga pada saat mencapai Puncak Bendera sekitar pukul lima pagi. Saat waktu tersebut, memungkinkan untuk pendaki kembali menuju Puncak Bendera pukul dua belas siang. Waktu tersebut merupakan waktu ideal untuk kembali ke kemah. Apabila memaksakan turun pada waktu malam hari akan sangat beresiko, karena medan yang ditempuh sangatlah ekstrim.
Namun pada kenyataannya “Jam Karet Indonesia” kembali dialami rombongan kami. Sesuai kesepakatan sebelumnya, untuk berangkat dari pos 6 dimulai sekitar pukul tiga pagi. Dengan berbagai permasalahan yang terjadi, akhirnya kami berangkat dari pos 6 sekitar pukul setengah tujuh pagi. Sebuah Anomali dalam sebuah pendakian menuju Puncak Sejati.
Dengan energi yang tersisa, kami berlima belas memberanikan diri membawa tubuh menuju puncak ter-ekstrim se Pulau Jawa. Pada saat memulai tracking, kami hanya membawa beberapa tas carrier kecil yang berisikan air, karmantel, karabiner, webing, dan sedikit logistik. Hal ini dilakukan agar pada saat perjalanan dapat menghemat tenaga dan menjaga keseimbangan tubuh.
Panas terik yang menyelimuti hutan belantara Raung memang cukup menguras tenaga kami. Terbukti dengan molornya estimasi waktu kami menuju Puncak Bendera. Normalnya untuk sampai ke Puncak Bendera membutuhkan waktu tiga jam. Namun saat itu rombongan kami hampir menembus waktu empat jam.
Pukul 11.00 akhirnya kami mencapai Puncak Bendera. Di puncak inilah menjadi batas pendakian menggunakan alat. Karena setelah Puncak Bendera, jalan menuju Puncak Sejati banyak melewati tebing dan jurang. Waktu pun berlari dengan kencang, persiapan menggunakan alat pun dipercepat agar tidak terlalu malam saat turun dari Puncak Raung.
Setelah webing dan karabiner terpasang di badan, kami langsung memutuskan untuk tracking. Rute perjalanan dari Puncak Bendera berturut-turut melewati Igir-igir, Puncak-17, Jembatan Sirotol Mustaqim, Puncak Tusuk Gigi, kemudian sampai di Puncak Sejati. Dari Puncak Bendera, perjalanan ke Sejati biasanya memakan waktu 3-4 jam, namun tetap kondisional.
Inti perjalanan menuju Sejati akhirnya dimulai. Agar kondisi tubuh tetap imbang, kami memutuskan untuk “hanya” membawa satu tas carrier yg berisikan karmantel plus botol air kecil, sedangkan beberapa tas ditinggal di Puncak Bendera. Langkah awal untuk menuju Puncak-17 dengan melewati bukit-bukit berbatu. Peralatan webing kami gunakan untuk mempermudah ketika turun. Perlu diketahui jalan menuju puncak Sejati banyak melewati jurang, sehingga pendaki harus ekstra konsentrasi.
Setelah sempat climbing akhirnya kami sampai di Puncak-17. Sebenarnya, ada dua jalur yang bisa dilewati dalam perjalanan menyusuri Puncak-17. Jalur pertama naik menuju Puncak-17 lalu turun, jalan kedua yakni melipir (memutari) Puncak-17 dengan menggunakan karmantel yang diikat di ancor besi yang telah tertanam. Saat itu, rombongan kami memilih untuk mendaki lewat jalan kedua.
Puncak-17 berhasil dilewati, rintangan selanjutnya yakni melewati Jembatan Sirotol Mustaqim. Jalan ini sangat terkenal layaknya “Tanjakan Cinta”-nya Gunung Semeru. Anggapan saya ketika mendengar cerita jalan di Sirotol Mustaqim sangatlah membahayakan sirna seketika. Jalan di Sirotol Mustaqim memang samping kanan dan kirinya langsung mengahadap ke jurang. Jalannya sangat cukup untuk dilalui satu-dua pendaki. Saya malah sempat berlari di tengah jembatan mengerikan itu. Namun apabila takut dengan ketinggian, disarankan agar berjalan perlahan dan tetap fokus.
Setelah melewati Jembatan tersebut, perlahan kami menyusuri turunan dengan teknik rappling. Alat yang digunakan yakni karmantel yang dipasang pada karabiner. Kemudian kami turun lagi melewati cerukan. Titik ini merupakan titik yang perlu diwaspadai oleh pendaki. Disarankan berjalan perlahan dan menggunakan webing agar tidak terjadi kecelakaan saat mendaki.
Setelah melewati cerukan, kemudian kami naik menuju Puncak Tusuk gigi yang berkontur bebatuan lancip. Sekitar setengah jam tracking, kami pun tiba di persimpangan Puncak Tusuk gigi. Sama seperti Puncak-17, ada dua jalan untuk melewatinya. Jalan pertama lurus menuju Puncak Tusuk gigi, jalan lainnya melipir ke kanan langsung menuju Puncak Sejati. Agar menghemat waktu, kami pun memilih jalan kedua yang langsung menembus Puncak Sejati.
Tak lama, sekitar 15 menit akhirnya Puncak Sejati menampakkan wujud gagahnya. Tak menyangka rasanya kami berlima belas telah sampai di Sejati-nya Gunung Terekstrem se Jawa. Rasa bahagia hinggap di setiap sanubari kelompok kami, membayangkan betapa beratnya jalan yang harus dilalui. Sungguh Raung memanglah Sejati !
Setelah hampir setengah jam menghabiskan waktu menikmati awan, kaldera, dan berselfie ria, tepat pukul 16.10 Senin, kami memutuskan untuk bergegas turun. Meskipun kelompok kami telah “melanggar” batas waktu pendakian normal Gunung Raung. Dengan daya dan tenaga yang tersisa, perjalanan pulang kami kebut dengan melalui track yang kami lewati sebelumnya.
Perjalanan pulang tentu tak kalah ekstrem, karena pada saat melewati jembatan Sirotol Mustaqim waktu itu sudah menunjukkan waktu Sholat Maghrib. Sedang saat akan melipir di Puncak-17 waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Sungguh ekstrem perjalanan yang kami lalui. Memanjat tebing Gunung Raung saat dingin malam menyelimuti tubuh gemetar kami. Selain itu, persediaan air kami mulai menipis.
Dengan ditemani gemuruh takbir dari bawah gunung, perjalanan pulang menembus waktu subuh. Hal ini dikarenakan kondisi tubuh yang mulai melemah, yang pada akhirnya membuat kami sementara waktu beristirahat di bawah pohon besar pos 8. Waktu itu Senin, 12 September 2016. Setelah sempat beristirahat di tenda, kami langsung turun menuju pos 1 Pak Soenaryo, sekitar pukul 18.00 kami sampai dengan keadaan basah kuyup (maklum saat kami turun, hujan melanda belantara Raung). Keesokan harinya, Selasa 13 September 2016 kami pulang menuju kehidupan kota.
Itulah segelintir cerita tentang Raung dan kegagahannya. Cerita ini terlalu indah untuk dilupakan dan tidak ditulis. Perjalanan kaki-kaki kecil manusia menuju kebesaran Tuhan yang memang tidak akan pernah bisa dikalahkan. Sepintas saya kembali mengingat apa yang dikatakan Soe diatas. Sebagai seorang manusia, kita memang hanya butiran air dari lautan luas milik Sang Maha Kuasa. Kita hanya perlu meng-upgrade diri agar diwaktu hidup, agar hidup kita dapat berguna. Merujuk kalimat dari Emha Ainun Najib, salah satu kyai yang saya kagumi pemikirannya. “Halal untuk kalah oleh raksasa penguasa, namun haram untuk kalah dari hawa nafsu diri sendiri”. Resapi dan artikanlah sendiri.
Tidak ada komentar: