Header Ads

KALA LEMONGAN






Pesona alam berupa hamparan tinggi yang jamak disebut gunung memang telah menjadi destinasi plesir baru masyarakat Indonesia dewasa ini, terutama bagi kaula muda. Gunung sebagai objek wisata memang menawarkan keelokan pemandangannya, yang nantinya dapat menjadi sebuah objek foto yang menarik. Meskipun biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pendakian tidak sedikit serta kesiapan fisik yang mumpuni, nyatanya gunung saat ini tak pernah sepi pengunjung.
Di Indonesia sendiri terdapat beberapa gunung yang cukup terkenal di kalangan pendaki. Untuk di Pulau Jawa, Gunung Semeru masih tetap menjadi destinasi andalan. Suguhan pemandangan Ranupani, Ranukumbolo, serta Puncak Mahameru mempertegas daya tarik  gunung ini kepada pengunjung. Selain itu masih banyak lagi gunung yang cukup ramai pengunjung, seperti Gunung Arjuno-Welirang, Sindoro-Sumbing, Merbabu-Merapi, serta masih banyak lagi.
Hari itu, Sabtu tanggal 27 Agustus 2016 pagi saya bersama tiga kawan LPM Manifest serta sahabat saya memutuskan plesir ke Gunung Lemongan. Ini merupakan pendakian kedua saya di Gunung Lemongan. Dengan biaya seadanya serta persiapan yang minim (hampir tidak ada planning), kami berlima berangkat dari Jember sekita pukul 9 pagi. Dengan mengendarai sepeda motor, kami sampai di kediaman Alm. Mbah Citro (Pos 1) sekitar pukul 10 pagi.
“Udah lama mas gak ada yang muncak, kira-kira tanggal 17 Agustus ada orang kesana,” jawab Joko, menantu Alm. Mbah Citro, Juru Kunci Gunung Lemongan saat saya tanyakan adakah orang yang mendaki ke puncak Lemongan. Memang Gunung Lemongan tak begitu dikenal oleh kalangan pendaki. Selain ketinggiannya yang “hanya” 1.672 Mdpl, akses air yang minim. Tak banyak spot-spot menarik bagi “Pendaki hits” di Lemongan. 
“Airnya cukup ? kalau kurang ambil saja dari sini, sekarang lagi musim panas mas.” Tawar Joko. Dengan sedikit diskusi kecil, akhirnya kami pun mengindahkan tawaran dari Joko. Memang di Lemongan hanya ada satu mata air, yakni di pos 5, kira-kira setengah perjalanan menuju Puncak Lemongan. Selepas memarkir motor di dalam rumah, kami berangkat menuju track Gunung Lemongan. 
Setelah hampir berjalan satu jam, kami pun sampai di Pos 2 Watu Gede. Pemandangan disana menurut saya merupakan spot terbaik di Lemongan. Dari depan, pengunjung dapat melihat secara jelas kegagahan Gunung Lemongan. Sedangkan di bagian belakang, kita dapat melihat keelokan tiga ranu (danau) yang ada di Lumajang, Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Regulo. Puncak Mahameru pun secara jelas terlihat dari Watu Gede saat cuaca cerah.
Cuaca yang terik membuat kami berlima kelelahan, sehingga membuat persediaan air kami menipis. Salah seorang perempuan dari rombongan kami merasa sakit pada bagian kaki. Memang saat itu ia baru pertama mendaki. Selain itu kondisi track yang sulit karena ilalang yang panjang juga membuat kami harus berjalan lebih ekstra.
Setelah melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 Wet Tunggal (Pohon Tunggal), akhirnya tiga kawan saya tidak dapat melanjutkan perjalanan karena persediaan air kami habis. Dengan tenaga seadanya, saya beserta sahabat saya tetap melanjutkan perjalanan menuju Pos  5 Sumber Mata Air untuk mengambil persediaan air. Sementara itu, kami juga tidak tahu pasti apakah di Pos 5 masih ada persediaan air atau tidak. Mengingat sumber mata air satu-satunya di Lemongan hanya berupa tetesan dari akar pohon yang diwadahi guci.
Perjalanan menuju Pos 5 saat itu merupakan pengalaman pertama mendaki saya survive untuk mencari air. Tidak berjalan, melainkan berlari ! Saya dan sahabat saya memang sengaja mendaki lebih ekstra dari biasanya, mengingat salah seorang dari rombongan kami dehidrasi parah. Jalan yang terjal dan naik hampir 90 derajat tak membuat kami saat itu goyah.
Memang ujian sesungguhnya saat mendaki Lemongan yakni dari Pos 3 Wet Tunggal menuju Puncak. Jalannya naik, hampir tidak ada turunan sekalipun. Selain itu, kontur jalan didominasi pasir serta batu absolid membuat perjalanan menuju Pos 5 Mata air tidak dapat dilalui dengan mudah. Bahkan kami sering tersandung saat hendak naik dari batu satu ke batu lainnya. Namun dengan Do’a dan kerja keras, akhirnya kami dapat sampai di Pos 5 kurang dari 30 menit (normalnya dari Wet Tunggal ke Mata Air memakan waktu satu jam-an).
Air di guci ternyata masih full. Karena memang seperti Joko katakan, sudah lama tidak ada yang mendaki di Lemongan. Setelah meminum air dari Mata air tersebut, kami pun langsung bergegas turun untuk membagikan air kepada kawan-kawan saya di Wet Tunggal. Selepas merehatkan kondisi tubuh dengan minum dan makan, selanjutnya kami turun menuju Watu Gede kembali, kira-kira saat matahari mulai terbenam. Saat itu Bulan tidak sedang kondisi terbaiknya untuk menyinari jalan kami, sehingga membuat kami satu rombongan pelan-pelan untuk turun.
Akhirnya kami sampai di Watu Gede kembali, sekitar adzan isya’ berkumandang. Kami disambut secara hangat oleh rombongan pendaki asal Probolinggo serta Wandi, salah seorang aktivis lingkungan asal Gunung Lemongan (Laskar Hijau) yang sengaja bermalam di Watu Gede. Kami akhirnya memutuskan untuk bermalam di Watu Gede.
“Tadi gak jadi muncak ya mas ? soalnya tadi aku liat kalian lama di Wet Tunggal. Aku juga liat kalian tadi di rumahnya Mbah Citro langsung berangkat gak istirahat dulu,” ungkap Wandi kepada kami. “Iya mas gak muncak, manajemennya buruk hehe.” Jawab saya. Kemudian Wandi menerangkan bahwa Gunung Lemongan ini memang unik. Keunikan dari Lemongan yakni menurutnya terletak pada ketinggian dan waktu tempuh yang harus dicapai pendaki untuk sampai ke Puncak. “Memang Lemongan itu Cuma 1.600 meter, jauh sama Semeru yang 3.600 meter. Tapi kalau saya lebih mudah naik Semeru daripada Lemongan,” Ungkapnya.
Selain itu, manajemen waktu dan persediaan air juga menurutnya harus diperhatikan. Karena di Lemongan hanya ada satu mata air serta jalan yang ekstrem bagi pendakian. “Sebaiknya kalau pengen muncak lagi berangkat sore aja mas, nanti stay di Watu Gede dulu. Baru nanti jam 12-an muncak, itu lebih enak.” Katanya saat menerangkan manajemen pendakian di Lemongan.
Memang kita tidak boleh meremehkan apa yang kita anggap kecil. Seperti Lemongan, di kalangan pendaki boleh dianggap kecil. Namun perjuangan untuk mencapai puncaknya justru lebih sulit daripada Semeru seperti kata Wandi. Lemongan saat itu mengajarkan saya untuk mempersiapkan rencana dengan benar dan menejemen pendakian yang baik. Selain itu, “kebersamaan” yang terjalin dapat menumbuhkan rasa empati yang lebih terhadap sesama manusia maupun alam.

“Meskipun pada akhirnya kita tidak dapat ber-selfie ria di puncak, namun “kebersamaan” dengan kalian menjadi salah satu momen terbaik dalam hidup saya.”


Terima kasih Abdi Maulana, Sahabatku.
Terima kasih Rhama, Dimas, dan Intan. Adik-adikku di LPM Manifest.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.