PEMANTAPAN DIRI
“Adakalanya ketika seseorang mulai
benar-benar sadar akan indahnya hidup melalui jalur perjuangan”. Setidaknya
itulah yang saya rasakan selama hampir 4 bulan lebih terpenjara di dalam
sekat-sekat kemalasan yang mematikan. Kebosanan hidup selalu menghantui di
dalam setiap mati suri yang saya lakukan
ketika masa itu.
“Berlelah-lelahlah, manisnya hidup
terasa setelah lelah berjuang.” Ujar Imam Syafi’i, dan saya mengamini itu.
Memang dalam masa itu tidak hanya bermalas-malaslah yang saya lakukan.
Tuhan-pun memberikan jalan terbaik-Nya dengan menghadiahi rusaknya HP Samsung
saya. Barang yang di era “Gila” ini disejajarkan dengan Tuhan. Tak perlu banyak
penjelasan, Hablumminannas saya
secara sepihak terputus! Sebagian agenda terkendala. Namun hati dan fikiran mantap
mengambil keputusan legawa untuk merelakan dan mulai berusaha mencari pengganti
“yang disejajarkan dengan Tuhan itu”.
Saya percaya. Hal positif atau
hikmah yang Tuhan berikan yakni memberikan lawan sepadan kepada Si-Malas untuk
terus dilawan dan dikalahkan. Salah satunya dengan aktif bekerja pagi hingga
larut malam bersama Orang Tua. Tuhan
juga memberikan jalan berupa lowongan pekerjaan di salah satu angkringan
meskipun saya sendiri tidak tahu apakah Ia memberikan kesempatan itu kepada
saya. Hanya Dia-lah yang Maha tahu.
Bukan hanya di bidang itu saja saya
harus memantapkan diri. Tekanan juga muncul dari muara bernama organisasi pers
mahasiswa. Jalan yang saya tempuh di kala berseragam compang-camping khas kaum
mahasiswa. Sejalan dengan tanggung jawab menjadi salah satu orang penting di
tubuh kepengurusan membuat beban hidup bukan hanya ada di keluarga.
Sempat-lah suatu waktu ketika saya
frustasi memikirkan hal ini. Goncangan jiwa bak gempa gunung berapi seolah
menghujam pikiran saya. Siapa sangka sosok humoris yang terlihat diluar
ternyata memendam jutaan fikiran kotor yang membuat saya hampir menyerah
sebelum angkat senjata di medan perang. Sungguh menyebalkan.
Namun saya masih tetap percaya ada
kawan-kawan seperjuangan yang akan membantu. Dukungan dari alumni yang seakan
tak pernah henti mengalir juga membuat saya tetap berkobar melanjutkan perjuangan
kaum intelektuil yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan demokrasi itu.
Memantapkan diri-lah
yang akan menjadi obat dari segala macam penyakit yang akan menimpa. Tanpa itu
rasanya pahit seperti kopi yang akhir-akhir saya gandrungi kembali. Terus
berusaha dan berdo’a menjadi kunci, selebihnya saya serahkan kepada-Nya. Saya
masih ingat betul kata seorang alumni kepada saya waktu ngopi bersama. “Orang
kadang hanya melihat hasil tanpa proses yang dilaluinya. Mungkin tidak banyak
orang tahu bahwa Jepang besar karena mereka mempunyai budaya untuk memuji usaha
seseorang tanpa melihat pekerjaan itu berhasil atau tidak. Terus berusahalah
tanpa harus takut gagal.” Begitu katanya sembari menatap mata saya dalam-dalam.

Tidak ada komentar: