BELAJAR DARI GIE
Suatu
ketika, aku lupa hari dan tanggalnya. Yang aku ingat saat itu aku sedang berada
sekret Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aktualita, Universitas Muhammadiyah Jember.
Saat itu memang akan diadakan acara sharing
materi diskusi dies Natalis Perhimpunan Pers mahasiswa Indonesia (PPMI) XXIII
antar anggota LPM se Jember yang tergabung dalam PPMI Kota Jember.
Saat asyik berbincang-bincang dengan
kawan-kawan Pers Mahasiswa (persma), tak sengaja ada sebuah buku menarik tergeletak
diantara kerumunan kawan persma. Sejenak ku ambil buku itu, dan yang kudapat
adalah buku berjudul “Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran”. Buku berwarna
dominan merah, putih, dan hitam. Pada awalnya yang membuatku tertarik dengan
buku itu karena sampulnya sangat bagus, menurutku. Maklum saja, aku sendiri
bukanlah seorang pegiat buku seperti kebanyakan kawan-kawan persma yang lain.
Kuluangkan sedikit waktuku untuk sekedar membaca bagian awal dari buku ini, kata pengantar dari Harsja W. Bachtiar. Mataku seolah bergairah, tatkala mengetahui Soe Hok Gie adalah seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia medio tahun 1960-an, penulis, aktivis mahasiswa, dan pecinta alam. Hatiku bergetar ketika mengetahui bahwa ia adalah seorang pendaki yang meninggal di Puncak Mahameru. Terang saja hatiku bergetar. Semenjak pertama kali melihat Gunung Semeru secara langsung saat dalam perjalanan pulang touring dari Kediri dengan sahabat-sahabatku alumni SMP N 1 Jember (kira-kira awal tahun 2015), aku seolah jatuh cinta pada pandangan pertama. Entah sihir apa yang Mahameru berikan padaku, sehingga aku tergila-gila dengannya. Tak bosan-bosan ku pandangi puncaknya yang manis. Mungkin memang benar jatuh cinta dengan Semeru.
Kuluangkan sedikit waktuku untuk sekedar membaca bagian awal dari buku ini, kata pengantar dari Harsja W. Bachtiar. Mataku seolah bergairah, tatkala mengetahui Soe Hok Gie adalah seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia medio tahun 1960-an, penulis, aktivis mahasiswa, dan pecinta alam. Hatiku bergetar ketika mengetahui bahwa ia adalah seorang pendaki yang meninggal di Puncak Mahameru. Terang saja hatiku bergetar. Semenjak pertama kali melihat Gunung Semeru secara langsung saat dalam perjalanan pulang touring dari Kediri dengan sahabat-sahabatku alumni SMP N 1 Jember (kira-kira awal tahun 2015), aku seolah jatuh cinta pada pandangan pertama. Entah sihir apa yang Mahameru berikan padaku, sehingga aku tergila-gila dengannya. Tak bosan-bosan ku pandangi puncaknya yang manis. Mungkin memang benar jatuh cinta dengan Semeru.
“Pembaca
bisa setuju atau tidak setuju dengan pernyataan-pernyataan,
pandangan-pandangan, atau pemberitaan tentang Soe Hok Gie, tapi sebaiknya kita
mengetahui pemikiran dan perasaan yang hidup di kalangan pemuda dan mahasiswa.
Tentu tak semua pemuda dan mahasiswa antara Desember 1959, pada waktu ia
membuat catatan hariannya sampai tanggal 16 Desember 1969, ketika ia tak dapat
menulis lagi karena meninggal dalam pendakian gunung di puncak Gunung Semeru.”
– Harsja W. Bachtiar dalam kata pengantar buku “Soe Hok Gie : Catatan Seorang Demonstran”
Mahasiswa, aktivis, humanis, setia
kawan, penulis, suka mendaki, itulah Soe Hok Gie. Sepertinya Tuhan sedang baik
hati mempertemukan diriku dengan orang keren seperti Gie. Tanpa banyak
berfikir, aku mulai tertarik dengan Gie.
Rasa keinginananku untuk lebih jauh mengenal Gie kubuktikan dengan terus mencari data tentangnya lewat internet, berdiskusi dengan kawan di kampus yang mungkin lebih dahulu mengenal sosok Gie, sampai yang ter-ekstrim dengan mendownload film Gie sampai lewat pukul 12 malam di Gasebo Internet Universitas Jember (UNEJ) dan langsung menontonnya di kosan Ade sampai jam setengah 4 pagi. Padahal kuliah dimulai jam 7 pagi. Sungguh setan telah merasuk ke dalam badanku, nafsu untuk lebih dekat dengan Gie.
Rasa keinginananku untuk lebih jauh mengenal Gie kubuktikan dengan terus mencari data tentangnya lewat internet, berdiskusi dengan kawan di kampus yang mungkin lebih dahulu mengenal sosok Gie, sampai yang ter-ekstrim dengan mendownload film Gie sampai lewat pukul 12 malam di Gasebo Internet Universitas Jember (UNEJ) dan langsung menontonnya di kosan Ade sampai jam setengah 4 pagi. Padahal kuliah dimulai jam 7 pagi. Sungguh setan telah merasuk ke dalam badanku, nafsu untuk lebih dekat dengan Gie.
Belajar dari kehidupan Gie sebagai mahasiswa memang seolah menuntunku menuju dunia mahasiswa yang menyenangkan. Membaca, diskusi, menulis (entah berupa krikitan kepada pihak birokrat, makalah untuk menyelesaikan tugas ataupun hanya menulis biasa), dan mendaki merupakan hal yang luar biasa. Disamping dapat mengamalkan tugasnya sebagai agent of change and control pada waktu itu (kritis terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Soekarno), kegemarannya yang suka mendaki menurutnya merupakan suatu hal untuk menumbuhkan rasa kecintaannya kepada Indonesia. Dia memang keren! entah itu hanya perasaanku saja sebagai mahasiswa yang masih mencari jati diri.
Membaca setiap cerita di buku hariannya memanglah membuatku malu sebagai mahasiswa. Ia sangat gemar membaca, banyak buku-buku tingkat “tinggi” telah ia lahap. Ia juga aktif dalam kegiatan mahasiswa, dan berperan aktif dalam pembentukan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA UI). Sedangkan untuk karyanya dalam bentuk tulisan tidak perlu diragukan lagi. Tulisannya banyak dimuat di berbagai media cetak terkenal seperti Kompas dan Sinar Harapan. Rapor Akademisnya pun terbilang baik. Gie juga terkenal sebagai orang yang supel, mudah bergaul, dan setia kawan.
Akhir cerita, seorang idealis bernama Soe Hok Gie memang telah kembali dari ketiadaannya. Ia mungkin hanya seorang korban dari konspirasi para penguasa yang haus akan jabatan dan kekayaan. Namun semangatnya untuk mewujudkan bangsa yang adil dan sejahtera, tanpa memandang suatu golongan, ras, dan agama akan tetap terpatri di dalam hati setiap orang yang terinspirasi oleh perjuangannya. Kamu keren Gie ! semoga kau tenang di puncak Pulau Jawa.
“ Saya kadang-kadang merasa malu
betapa kurangnya saya kerja. Saya dapat uang tapi saya amat segan menerimanya.
Menghadapi kekejaman-kekejaman
ini orang hanya punya 2
pilihan. Menjadi apatis atau ikut arus. Tapi syukurlah ada pilihan ketiga :
Menjadi orang bebas.”
“Kebenaran hanya ada di langit, dan
dunia adalah fana, fana.”
Filsuf Yunani pernah mengatakan “Nasib
terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua dilahirkan tapi mati muda.
Dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah
mereka yang mati muda.”
“Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada.
Berbahagialah dalam kebahagianmu.”

Uwuwuwuwuww
BalasHapusDapat kiriman komen dari cucunya Albert Camus, uwuwuw~
Hapus